Revolusi Industri 4.0

October 05, 2020

 

Revolusi industri adalah perubahan besar terhadap cara manusia dalam mengolah sumber daya dan memproduksi barang. Revolusi industri merupakan fenomena yang terjadi antara 1750 – 1850. Saat itu, terjadi perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi. Perubahan tersebut ikut berdampak pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia.

Revolusi Industri 1.0

Revolusi Industri yang pertama terjadi pada abad ke-18 ditandai dengan penemuan mesin uap yang digunakan untuk proses produksi barang. Saat itu, di Inggris, mesin uap digunakan sebagai alat tenun mekanis pertama yang dapat meningkatkan produktivitas industri tekstil. Peralatan kerja yang awalnya bergantung pada tenaga manusia dan hewan akhirnya digantikan dengan mesin tersebut.

Revolusi Industri 2.0

Revolusi industri 2.0 terjadi di awal abad ke-20. Revolusi industri ini ditandai dengan penemuan tenaga listrik. Tenaga otot yang saat itu sudah tergantikan oleh mesin uap, perlahan mulai tergantikan lagi oleh tenaga listrik. Walaupun begitu, masih ada kendala yang menghambat proses produksi di pabrik, yaitu masalah transportasi. 

Di akhir 1800-an, mobil mulai diproduksi secara massal. Produksi massal ini tidak lantas membuat proses produksinya memakan waktu yang cepat karena setiap mobil harus dirakit dari awal hingga akhir di titik yang sama oleh seorang perakit mobil. Artinya, untuk merakit banyak mobil, proses perakitan harus dilakukan oleh banyak orang yang merakit mobil dalam waktu yang bersamaan.

Revolusi Industri 3.0

Setelah revolusi industri kedua, manusia masih berperan sangat penting dalam proses produksi berbagai macam jenis barang. Tetapi, setelah revolusi industri yang ketiga, manusia tidak lagi memegang peranan penting. Setelah revolusi ini, abad industri pelan-pelan berakhir dan abad informasi dimulai.

Jika revolusi pertama dipicu oleh mesin uap, revolusi kedua dipicu oleh ban berjalan dan listrik, revolusi ketiga ini dipicu oleh mesin yang dapat bergerak dan berpikir secara otomatis, yaitu komputer dan robot.

Salah satu komputer pertama yang dikembangkan di era perang dunia II sebagai mesin untuk memecahkan kode buatan Nazi Jerman adalah komputer bernama Colossus. Komputer yang dapat diprogram tersebut merupakan mesin raksasa sebesar ruang tidur yang tidak memiliki RAM dan tidak bisa menerima perintah dari manusia melalui keyboard. Komputer purba tersebut hanya menerima perintah melalui pita kertas yang membutuhkan daya listrik sangat besar, yaitu 8.500 watt.

Revolusi Industri 4.0

Nah, inilah revolusi industri yang saat ini sedang ramai diperbincangkan. Bahkan, diangkat menjadi salah satu topik dalam Debat Capres 2019. Industri 4.0 adalah tren di dunia industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi siber. Istilah industri 4.0 berasal dari sebuah proyek dalam strategi teknologi canggih Pemerintah Jerman yang mengutamakan komputerisasi pabrik.

Pada industri 4.0, teknologi manufaktur sudah masuk pada tren otomatisasi dan pertukaran data. Hal tersebut mencakup sistem siber-fisik, internet of things (IoT), cloud computing, dan cognitive computing.

Tren ini telah mengubah banyak bidang kehidupan manusia, termasuk ekonomi, dunia kerja, bahkan gaya hidup. Singkatnya, revolusi industri 4.0 menanamkan teknologi cerdas yang dapat terhubung dengan berbagai bidang kehidupan manusia.


Peluang dan Tantangan Revolusi Industri 4.0

Seperti revolusi yang mendahuluinya, Revolusi Industri 4.0 memiliki potensi untuk meningkatkan tingkat pendapatan global dan meningkatkan kualitas hidup populasi di seluruh dunia. Sampai saat ini, mereka yang telah memperoleh hasil maksimal darinya adalah konsumen yang mampu membeli dan mengakses dunia dan layanan digital.

Teknologi telah memungkinkan produk dan layanan baru yang meningkatkan efisiensi dan kesenangan kehidupan pribadi kita. Memesan taksi, memesan penerbangan, membeli produk, melakukan pembayaran, mendengarkan musik, menonton film, atau bermain game — semua ini sekarang dapat dilakukan dari jarak jauh, bahkan untuk urusan bisnis seperti pembukuan, dengan hadirnya software akuntansi berbasis cloud.

Di masa depan, inovasi teknologi juga akan mengarah pada keajaiban sisi penawaran, dengan keuntungan efisiensi dan produktivitas jangka panjang. Biaya transportasi dan komunikasi akan turun, logistik dan rantai pasokan global akan menjadi lebih efektif, dan biaya perdagangan akan berkurang, yang semuanya akan membuka pasar baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, teknologi adalah salah satu alasan utama mengapa pendapatan mengalami stagnasi, atau bahkan menurun, untuk sebagian besar penduduk di negara-negara berpenghasilan tinggi: permintaan akan pekerja berketerampilan tinggi telah meningkat sementara permintaan akan pekerja dengan pendidikan rendah dan keterampilan rendah mengalami penurunan.

Ini membantu menjelaskan mengapa begitu banyak pekerja kecewa dan takut bahwa pendapatan mereka sendiri dan anak-anak mereka akan terus mandek atau tidak akan mendapat pekerjaan.

Ini juga membantu menjelaskan mengapa kelas menengah di seluruh dunia semakin mengalami perasaan tidak puas dan tidak adil.

Ketidakpuasan juga dapat dipicu oleh meluasnya teknologi digital dan dinamika berbagi informasi yang dicirikan oleh media sosial. Lebih dari 30 persen populasi global sekarang menggunakan platform media sosial untuk terhubung, belajar, dan berbagi informasi.

Dalam dunia yang ideal, interaksi ini akan memberikan peluang untuk pemahaman dan kohesi lintas budaya. Namun, mereka juga dapat menciptakan dan menyebarkan harapan yang tidak realistis tentang apa yang merupakan keberhasilan bagi individu atau kelompok, serta menawarkan peluang untuk menyebar ide dan ideologi ekstrem.


Penyebab terjadinya transformasi digital

Ada dua hal saling terkait yang menyebabkan transformasi digital. Pertama, kemunculan internet yang menjadi populer pada akhir era ‘90-an sampai awal 2000-an. Hadirnya teknologi ini menyebabkan arus informasi bertambah deras. Arus informasi ini memiliki efek candu bagi manusia dimana jika kita sudah terbiasa terpapar oleh informasi, kita merasa ingin menambah ‘dosis’ informasi yang kita terima atau minimal tidak ingin ‘dosis’ informasi yang biasa kita terima berkurang. Walaupun begitu, faktor ini hanya sebagai awalan saja. Masih ada masalah-masalah yang menghambat transformasi digital yaitu infrastruktur dan perangkat. Seperti yang kita tahu saat itu koneksi internet hanya mengandalkan kabel tembaga saja dan tidak setiap rumah memiliki koneksi tersebut. Bukan hanya itu saja, internet juga hanya bisa dinikmati melalui perangkat PC maupun Laptop dan percayalah laptop saat itu masih terlalu berat untuk bisa dikatakan sebagai perangkat portabel sehingga kita masih menolak untuk membiarkan internet merenggut seluruh waktu yang kita punya dalam sehari. Mata siapa yang tak lelah memandangi layar monitor yang kebanyakan masih berjenis CRT selama 8 jam atau bahkan lebih.

Kedua, kemajuan teknologi komunikasi selular yang berhasil membawa koneksi internet tersebut ke dalam genggaman kita. Teknologi ini juga didukung oleh kemajuan teknologi chipset yang membuat telepon genggam yang sekarang disebut smartphone memiliki kemampuan komputasi yang lebih tinggi dalam memproses data dan menjalankan program layaknya sebuah komputer. Smartphone inilah yang berfungsi menjadi gerbang masuknya teknologi ke kehidupan dan aktivitas kita sehari-hari, di manapun dan kapanpun. Celah ini kemudian dimanfaatkan sejumlah inovator dan mengembangkan bisnis baru yang mereka ciptakan dengan cara yang juga baru. Jika kita amati, hadirnya start up kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda. Seperti yang kita ketahui bahwa anak-anak muda ini adalah golongan early adopter di mana mereka sangat menerima perubahan (disrupsi) bila dibandingkan dengan golongan tua yang lebih konservatif.

Revolusi industri 4.0 begitulah para pakar dan pengamat ekonomi menjuluki fenomena transformasi digital. Setiap pergantian era pasti ada yang lahir dan ada yang mati tergantikan apalagi jika kita sudah membawa-bawa teknologi sebagai pemicunya yang perkembangannya semakin cepat. Sudah banyak contoh kasus brand atau bisnis yang kita anggap sudah mapan tiba-tiba mati karena tergerus arus transformasi digital ini. Lihat saja Blockbuster perusahaan rental video yang sempat sukses di Amerika Serikat akhirnya tutup karena hadirnya Netflix.

Kodak, perusahaan alat fotografi juga mengalami kebangkrutan pada tahun 2012. Sebenarnya Kodak sudah berusaha melakukan beberapa inovasi digital. Kodak membuat Ofoto, situs untuk berbagi foto pada tahun 2001 di mana pada saat itu Instagram bahkan belum terpikirkan oleh pendirinya. Kodak juga menginvestasikan jutaan dollar untuk dalam pengembangan teknologi fotografi yang memungkinkan ponsel dan perangkat lain dapat mengambil foto. Akan tetapi, hal itu menjadi sia-sia karena Kodak bersikeras untuk tidak memproduksi kamera digital. Kodak terlalu sibuk untuk memaksa orang-orang yang saat itu baru mengenal fotografi digital untuk mencetak foto mereka.

Sebenarnya masih banyak lagi beberapa bisnis yang menghilang yang tidak kita sadari secara langsung. Bisnis-bisnis tersebut enggan untuk beradaptasi dengan perubahan era karena sudah terlalu nyaman dengan kejayaan yang mereka capai di masa lalu. Selain terlalu nyaman, ada juga beberapa bisnis yang tidak tahu harus bagaimana menghadapi transformasi digital ini. Hanya terbengong-bengong melihat start up baru bermunculan dan merebut pelanggan mereka satu demi satu.

Ada beberapa bisnis yang sudah berhasil beradaptasi dan ada juga yang terus mencoba tapi masih gagal. Keberhasilan bisnis, organisasi, maupun perusahaan dalam bertransformasi tidaklah ditentukan dari satu orang saja. Transformasi digital memerlukan semua pihak dalam suatu organisasi untuk beradaptasi. Ada beberapa skill yang dapat membantu seseorang agar dapat beradaptasi di era digital seperti kemampuan untuk memanfaatkan teknologi dalam mempermudah dan mempercepat pekerjaannya. Kemampuan ini disebut digital skill. Mudah ditebak bukan?

Digital skill terdiri banyak bagian, beberapa di antaranya adalah:

  • Digital Leadership
  • Communication and Collaboration
  • Find & Use
  • Teach & Learn

Skill-skill di atas sudah cukup untuk membuat kita ‘membaur’ dengan iklim digital sehingga kita mampu untuk beradaptasi. Menguasai bahasa pemrograman mungkin juga bisa dikategorikan sebagai digital skill tapi masih belum menjadi syarat utama untuk bertahan di revolusi industri 4.0. Meskipun begitu, tidak ada yang mampu memprediksi apa yang akan terjadi setelah era digital yang kemungkinan akan dibanjiri oleh AI (Artificial Intelligence). Bisa jadi kemampuan membuat model machine learning merupakan syarat wajib menjadi karyawan di setiap perusahaan.


Ekonomi Digital

Kini, Indonesia sedang menghadapi era Revolusi Industri 4.0 atau disruptive technology.  Revolusi Industri 4.0 melahirkan ekonomi digital. Bukti paling mencolok adalah digitalisasi. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan bahwa digitalisasi telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Digitalisasi membuka lapangan kerja baru yang belum pernah ada. Digitalisasi juga bisa meningkatkan produktifitas usaha karena  penggunaan data lebih efisien.

Perlu diketahui bahwa salah satu tanda digitalisasi adalah berlakunya vertical networkingDi mana, jaringan tidak lagi memiliki sekat-sekat atau hirarki. Serta, diikuti horizontal integration yang mengutamakan output, inovasi inheren dan melahirkan fenomena baru. Juga, muncul konsep sharing economyInternet of Things, e-commerce, finansial technology, Artificial Intelligence dalam berbagai lini kehidupan.

Hal yang paling dirasakan dengan adanya digitalisasi adalah lahirnya ekonomi digital yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai informasi, konsep ekonomi digital pertama kali diperkenalkan oleh Don Tapscott (The Digital Economy, 1995). Mempunyai rmakna keadaan sosiopolitik dan sistem ekonomi yang mempunyai karakteristik sebagai sebuah ruang intelijen, meliputi informasi, berbagai akses instrumen, kapasitas, dan pemesanan informasi. Ekonomi digital yang melakukan transaksinya dalam dunia maya sangat cocok dengan apa yang dikatakan oleh Don Tapscott tersebut.

Berdasarkan hasil riset McKinsey Global Institute yang dirilis pada November 2014, ada 5 (lima) teknologi (disruptive technology) yang berpengaruh terhadap  pertumbuhan ekonomi digital. Serta, mampu merubah kondisi sosial di kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia, yaitu: Mobile Internet, Big Data, Internet of Things (IoT), Automation of Knowledge dan Cloud Technology.

Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan ekonomi digital Indonesia makin bersinar karena faktor koneksi internet. Dan, didukung perkembangan pengguna perangkat digital. Berdasarkan survei tahun 2018 dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melansir bahwa pada tahun 2019 jumlah pengguna internet Indonesia sebanyak 171,17 juta jiwa (64,8%) dari total penduduk Indonesia sebanyak 264,16 juta jiwa. Jumlah pengguna internet tersebut menjadi modal besar perkembangan ekonomi digital.

Apalagi, saat kunjungan ke Silicon Valley di Amerika Serikat tahun 2017 lalu, Bapak Presiden Jokowi menegaskan pada tahun 2020 Indonesia harus menjadi kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Oleh sebab itu, keinginan tersebut perlu didukung pemanfaatan teknologi dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Indonesia. SDM Indonesia harus memahami pengetahuan era Revolusi Industri 4.0 seperti Artificial Intellegence (AI), Virtual Reality, dan Big Data Analysis.

Senada apa yang diyakini oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara saat menemani kunjungan Bapak Presiden Jokowi ke Silicon Valley, Amerika Serikat tahun 2017. Saat ditanya tentang perkembangan ekonomi digital oleh petinggi-petinggi perusahaan modal ventura, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara tanpa pikir panjang menyebut bakal ada lima unicorn di Indonesia pada tahun 2019. 

Tumbuh Melesat

Nilai pasar online sungguh luar biasa. Berdasarkan hasil riset Google dan Temasek, GMV (Gross Market Value) di kawasan Asia Tenggara pada 2018 saja mencapai US$ 72 miliar atau sekitar Rp 1.044 triliun dengan kurs Rp 14.500/USD. Terdiri dari transportasi online US$ 8 miliar, media online US$ 11 miliar, jasa travel online US$ 30 miliar dan e-Commerce US$ 23 miliar. Ditambah sektor lain seperti tempat hiburan online, jasa antar makanan, dan lain-lain akan  melonjak menjadi US$ 240 miliar (Rp 3.480 triliun) pada tahun 2025. Bagaimana dengan nilai transaksi online Indonesia? Tahun 2017, orang yang berbelanja online baru 7,4 juta jiwa dengan transaksi Rp 48 triliun. Tahun 2018 naik menjadi 11 juta dengan total transaksi Rp 68 triliun.

Lanjut, total transaksi perdagangan online tahun 2019 diperkirakan akan mencapai Rp 95,48 triliun. Itu baru besaran angka dari perdagangan online atau e-commerce tahun 2019 yang nilai transaksinya diperkirakan mengambil 3,1 persen pasar retail. Transaksi online berbasis teknologi finansial atau fintech mencapai Rp 252 triliun. Tambah, transaksi e-travel, yang diwakili bisnis mobilitas dan perjalanan menyumbang angka Rp 105,798 triliun. 

Pantas saja, pada tahun 2018 adalah milik financial technology (Fintech) dan industri kesehatan. Hal ini berdasarkan preferensi investor yang didapat survey Google dan A.T. Kearney terhadap puluhan pemodal, baik personal maupun institusional (lokal dan global). Angka 64 persen investor lokal lebih senang menanam modal di fintech, 29 persen ke sektor kesehatan, dan sisanya ke sektor lain. Sedangkan, 70 persen investor global memilih menanamkan modal di financial technology (Fintech), 20 persen sektor kesehatan, dan sisanya sektor lain. 

Gurihnya perdagangan online menyebabkan tumbuhnya perusahaan startup. Indonesia sudah mempunyai 4 unicorn yang valuasi bisnisnya 1 miliar dollar Amerika, yaitu: Tokopedia, Gojek, Traveloka dan Bukalapak. Bahkan, unicorn tersebut menggoda perusahaan lain untuk memberikan suntikan dana. Tokopedia adalah salah satu perusahaan e-commerce milik Indonesia yang mendapatkan suntikan dana US$ 100 juta dari Sequoia Capital dan SoftBank. Sequoia Capital adalah pemodal ventura Google dan Apple, sementara SoftBank adalah pemodal Alibaba.

Indonesia patut bersyukur karena Pertumbuhan ekonomi digital dari Pertumbuhan tahunan majemuk (Compound Annual Growth Rate/CAGR) tergolong yang tercepat di dunia, yakni 49% selama 2015-2018. Malah, pertumbuhan e-commerce Indonesia mencapai 78%, melampaui rata-rata pertumbuhan dunia pada angka 14% dan Asia pada angka 28%. Menarik lagi, ekonomi digital di Indonesia terbentuk dari  beragam industri. Bisnis e-commerce, transportasi, finansial perbankan, agrikultur, hingga tata kota ada di Indonesia.

Ekonomi digital telah mengubah landscape ekonomi dunia sebagai “new face” ekonomi global khususnya Indonesia. Bahkan, menurut  laporan McKinsey (2018), ekonomi digital telah memberkian dampak di beberapa area penting, yaitu: 1)  financial benefits, yang memberi banyak manfaat ekonomi bagi ekonomi bangsa. Indonesia sendiri menjadi pasar terbesar untuk e-commerce di Asia Tenggara yang diprediksi senilai 20 milyar dollar di tahun 2022; 2)  job creation yang akan membuka kurang lebih 26 juta pekerjaan baru di tahun 2022; 3)  buyer benefits seperti harga di  e-commerce  lebih murah dari harga offline; 4)  social equalityberakibat pada  kesetaraan gender, inklusi layanan keuangan, pemerataan pertumbuhan dan masalah sosial lainnya.

Perkembangan bisnis online yang dahsyat menjadikan ekonomi digital sebagai “Prime Mover” ekonomi Indonesia. Apalagi, berdasarkan laporan McKinsey menyebutkan bahwa ekonomi digital Indonesia sekarang hampir sama dengan China pada tahun 2010. Hal itu terlihat berdasarkan indikator-indikator seperti penetrasi e-retail, GDP per kapita, penetrasi internet dan  pengeluaran ritel. Nilai transaksi online Indonesia mencapai Rp 47,19 triliun di tahun 2018 (meningkat 281,39% dari realisasi tahun 2017 sebesar Rp 12,37 triliun. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memproyeksikan nilai pasar ekonomi digital di Indonesia bisa mencapai US$ 100 miliar pada 2025.

Kontribusi ekonomi digital terhadap  Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2017 mencapai  7,3 persen. Padahal, pertumbuhan ekonomi  Indonesia  sendiri tumbuh pada angka 5,1 persen.  Bahkan, melihat perkembangan ekonomi digital Indonesia yang luar biasa, World Market Monitor memproyeksikan ekonomi digital akan menyumbang USD 155 miliar atau 9,5 persen terhadap (PDB) Indonesia pada 2025. Di mana, peningkatan lapangan kerja senilai 35 miliar dolar AS atau 2,1 persen PDB yang akan mendorong produktivitas senilai 120 miliar dolar AS atau 7,4 persen PDB.


Sekian postingan ini saya buat. Terimakasih


Referensi tulisan

https://www.wartaekonomi.co.id/read226785/mengenal-revolusi-industri-dari-10-hingga-40

https://accurate.id/bisnis-ukm/revolusi-industri-4-0-pada-bisnis/

https://inixindojogja.co.id/transformasi-digital-penyebab-kepunahan/

https://writing-contest.bisnis.com/read/20191201/557/1175975/membangun-ekonomi-digital-sebagai-prime-mover-ekonomi-indonesia-era-revolusi-industri-4.0

Artikel Terkait

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Disqus
Tambahkan komentar Anda

No comments